Kasus Sedot
Pulsa Harus Gunakan UU Konsumen
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Edward Makarim, menyatakan kasus sedot pulsa sebaiknya menggunakan hukum pidana
konsumen. "Sehingga tujuan pemidanaan terhadap pelaku dan pemberian ganti
rugi terhadap korban tercapai keduanya," kata dia dalam sebuah acara,
Selasa, 8 Mei 2012. Ia
mengatakan unsur pidana penyedotan pulsa lebih sesuai sebagai suatu bentuk
pemaksaan kepada konsumen daripada unsur pencurian atau penipuan yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jika penyidik memaksakan penggunaan
KUHP sebagai dasar pemidanaan, jaksa penuntut umum sebagai pihak yang terbebani
membuktikan unsur pemidanaan juga akan kesulitan membuktikannya."Ke depannya
akan sulit membuktikan adanya pencurian atau penipuan karena unsur-unsur
pidananya tidak terpenuhi," kata Edward. Ia mengusulkan penggunaan hukum
pidana konsumen yang diatur dalam Pasal 12, 13 dan 15 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen untuk menjerat pelaku penyedotan pulsa. Edward mengatakan
penggunaan undang-undang itu dapat menjerat penyedia konten nakal tanpa membuat
perusahaannya mati atau bangkrut. "Penggunaan
KUHP hanya dapat menjerat individu pelaku," kata dia. Sedangkan pada kasus
penyedotan pulsa oleh content provider dilakukan oleh korporasi. Dengan
demikian, kata dia, perusahaan yang membuat kebijakan yang merugikan konsumen
dan perusahaan itu pula yang seharusnya memberikan ganti rugi pada konsumen.
Bukan individu perseorangan yang dihukum, sedangkan korporasi dapat bebas
melanjutkan usahanya.
Menurutnya penggunaan undang-undang itu juga dapat memaksa perusahaan content provider membayar ganti rugi kepada konsumen. Karena KUHP hanya mengamanatkan sanksi berupa kurungan tanpa mengamanatkan pemulihan kerugian yang dialami korban.
Sanksi itu ia anggap dapat membuat pelaku sedot pulsa jera. Namun konsumen tetap rugi karena tidak dapat menuntut pengembalian kerugiannya. "Karena tidak ada pemulihan hak konsumen," kata dia. Kasus sedot pulsa mencuat sekitar dua tahun lalu seiring dengan keluhan pengguna layanan content provider yang merasa rugi karena pulsanya tersedot tanpa keinginannya. Akibat kasus tersebut, 40 korporasi penyedia content provider masuk daftar hitam Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia.
Menurutnya penggunaan undang-undang itu juga dapat memaksa perusahaan content provider membayar ganti rugi kepada konsumen. Karena KUHP hanya mengamanatkan sanksi berupa kurungan tanpa mengamanatkan pemulihan kerugian yang dialami korban.
Sanksi itu ia anggap dapat membuat pelaku sedot pulsa jera. Namun konsumen tetap rugi karena tidak dapat menuntut pengembalian kerugiannya. "Karena tidak ada pemulihan hak konsumen," kata dia. Kasus sedot pulsa mencuat sekitar dua tahun lalu seiring dengan keluhan pengguna layanan content provider yang merasa rugi karena pulsanya tersedot tanpa keinginannya. Akibat kasus tersebut, 40 korporasi penyedia content provider masuk daftar hitam Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia.
Menurut saya kasus penyedotan pulsa
tersebut merupakaan suatu pelanggaran terhadap hak konsumen, karena konsumen
pengguna suatu provider tertentu mendapatkan kerugian yang semestinya tidak ia
inginkan. Memang perlu digunakan UU Konsumen guna melindungi hak konsumen yang
semestinya ia dapatkan, kalau hanya menggunakan KUHP saja, hal tersebut hanya
mengacu kepada sanksi kurungan atau pidana tanpa ada perlindungan pengembalian
dana kepada pihak konsumen yang dirugikan akibat penyedotan pulsa baik dari
content provider maupun dari provider tersebut. Semoga saja kasus penyedotan
pulsa tidak terulang kembali, dan UU Konsumen segera dibuat guna melindungi hak
konsumen bila suatu saat hal seperti ini terjadi lagi.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar