Kamis, 14 Maret 2013

tugas ke 2 softskill B.I 2



Kasus Sedot Pulsa Harus Gunakan UU Konsumen  
             Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Edward Makarim, menyatakan kasus sedot pulsa sebaiknya menggunakan hukum pidana konsumen. "Sehingga tujuan pemidanaan terhadap pelaku dan pemberian ganti rugi terhadap korban tercapai keduanya," kata dia dalam sebuah acara, Selasa, 8 Mei 2012.                                                                                                                                             Ia mengatakan unsur pidana penyedotan pulsa lebih sesuai sebagai suatu bentuk pemaksaan kepada konsumen daripada unsur pencurian atau penipuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jika penyidik memaksakan penggunaan KUHP sebagai dasar pemidanaan, jaksa penuntut umum sebagai pihak yang terbebani membuktikan unsur pemidanaan juga akan kesulitan membuktikannya."Ke depannya akan sulit membuktikan adanya pencurian atau penipuan karena unsur-unsur pidananya tidak terpenuhi," kata Edward. Ia mengusulkan penggunaan hukum pidana konsumen yang diatur dalam Pasal 12, 13 dan 15 Undang-Undang Perlindungan Konsumen untuk menjerat pelaku penyedotan pulsa. Edward mengatakan penggunaan undang-undang itu dapat menjerat penyedia konten nakal tanpa membuat perusahaannya mati atau bangkrut.                                     "Penggunaan KUHP hanya dapat menjerat individu pelaku," kata dia. Sedangkan pada kasus penyedotan pulsa oleh content provider dilakukan oleh korporasi. Dengan demikian, kata dia, perusahaan yang membuat kebijakan yang merugikan konsumen dan perusahaan itu pula yang seharusnya memberikan ganti rugi pada konsumen. Bukan individu perseorangan yang dihukum, sedangkan korporasi dapat bebas melanjutkan usahanya.
Menurutnya penggunaan undang-undang itu juga dapat memaksa perusahaan content provider membayar ganti rugi kepada konsumen. Karena KUHP hanya mengamanatkan sanksi berupa kurungan tanpa mengamanatkan pemulihan kerugian yang dialami korban.
Sanksi itu ia anggap dapat membuat pelaku sedot pulsa jera. Namun konsumen tetap rugi karena tidak dapat menuntut pengembalian kerugiannya. "Karena tidak ada pemulihan hak konsumen," kata dia.                                                                                                                    Kasus sedot pulsa mencuat sekitar dua tahun lalu seiring dengan keluhan pengguna layanan content provider yang merasa rugi karena pulsanya tersedot tanpa keinginannya. Akibat kasus tersebut, 40 korporasi penyedia content provider masuk daftar hitam Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia.
            Menurut saya kasus penyedotan pulsa tersebut merupakaan suatu pelanggaran terhadap hak konsumen, karena konsumen pengguna suatu provider tertentu mendapatkan kerugian yang semestinya tidak ia inginkan. Memang perlu digunakan UU Konsumen guna melindungi hak konsumen yang semestinya ia dapatkan, kalau hanya menggunakan KUHP saja, hal tersebut hanya mengacu kepada sanksi kurungan atau pidana tanpa ada perlindungan pengembalian dana kepada pihak konsumen yang dirugikan akibat penyedotan pulsa baik dari content provider maupun dari provider tersebut. Semoga saja kasus penyedotan pulsa tidak terulang kembali, dan UU Konsumen segera dibuat guna melindungi hak konsumen bila suatu saat hal seperti ini terjadi lagi.
Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar